Sabtu, 26 Desember 2015

penggunaan obat secara rasional



1.      
2.      PENGOBATAN MANDIRI
Seringkali pasien melakukanpengobatan mandiri, sebelum pergi ke dokter berusaha mengobati sendiri.Penanggulangan  penyakit di rumah dapat di lakukan dengan menggunakan obat atau tampa obat contohnya dengan mengompres, menggosok denganobat gosok atau cara lain. Untuk penyakit ringan dapat di obati sendiri tampa harus pergi ke dokter. Pengetahuan tentang pengobatan mandiri sangant di perlukan terutama untuk daerah terpencil dan jauh dari tempat praktek dokter atau Puskesmas.Beberapa penyakit harus di tangani sebelum pergi ke dokter, jika di biarkan dapat membahayakan, sebagai contoh demam tinggi pada bayi dapat menyebabkan kejang, oleh sebab itu harus segera di beri obat penurun demam.
Pada umumnya pengobatan mandiri di lakukan untuk berbagai tujuan yaitu:
a.       Mengobati penyakit, misalnya menyembuhkan luka dengan antiseptic, menyembuhkan cacingan, diare ringan, sulit buang feses, sakit kulit seperti gatal atau panu, sakit mata, maag, batuk dan sesak nafas.
b.      Menghilangkan gejala seperti menghilangkan nyeri pada infeksi gigi dengan asfirin atau parasetamol, menurunkan demam pada tifus atau pada  radang tenggorokan, tetapi untuk mengobati infeksinya di perlukan antibiotic.
c.       Memelihara kesehatan, sebagai contoh penggunaan vitamin, obat cacing pada anak-anak setiap 6 bulan.
Jika pasien tidak mengikiti petunjuk penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas, dapat terjadi penggunaan tidak rasional.Aturan tertera pada kemasan, brosur atu leflet. Beberapa kondisi khususnya yang perlu di perhatiakan pada pengobatan mandiri adalah ibu hamil, menyusui, gangguan fungsi ginjal, hati, factor genetic, pasien lanjut usia, pasien dengan penyakit tertentu seperti diabetes, hipertensi, asma dan lain-alain. Disamping itu penggunaan obat yang bersamaan denganobat lain (interaksi obat) harus juga mendapat perhatian karena dapat merugikan atau meniadakan efek obat yang di inginkan.
Obat yang dapat di beli tampa resep dokter di antranya obat sakit kepala, obat demam,(analgetik-antipiretik, vitamin, obat maag (antasida), obat cacing, obat diarae (obstipan, penjerap), salep kulit, obat tetes mata, pencahar, obat batuk, dan obat lain-lain yang termasuk obat bebas (berlogo lingkaran hijau). Dan obat bebas terbatas (berlogo lingkaran biru). Obat-obat tersebut harus mengikuti aturan penggunaan seperti dosis, kapan digunakannya apakah sebelum atu sesudah makan, interval pemakain, kondisi yang tidak boleh menggunakan dan obat lain atau makanan yang tidak boleh bersamaan di gunakan. Semua aturan tertulis pada kemasan atau bosur yang di lampirkan. Jika aturan tidak di penuhi akan berakibat pada terganggunya kesembuhan penyakit atau timbul efek yang merugikan abgi pemakai.
Sebagai contoh penggunaan analgetik-antipiretik yang terus menerus atu lambung kosong dapat menimbulkan tukak pada lambung dan usus sehingga timbul maag.Obat anlgetik-antipiretik juga harus hati-hati pada penderita asma karena dpat memperparah penyakit asma sehubungan dengan di hambatnya sintensis prostaglandin yang di perlukan untuk relaksasi bronhus. Penggunaan vitamin c pada penderita pirai (penyakit asam urat) akan menyebabkan penyakit asam urat bertambah dalam tubuh dan akan mengurangi efek obat pirai. Penggunaan vitamin C pada dosis tinggi dan terus menerus pada ibu hamil akan menyebabkankebutuhan vitamin C pada bayi lebih tinggi, sehingga terlihat sebagai kekurangan vitamin C yang di tandai dengan pendarahan gusi. Penggunaan antasida barsamaan dengan obat lain dapat mengurangi absorpi obat lain sehingga mengganggu kesembuhan penyakit. Penggunaan obat batuk yang mengandung obat pelonggar hidung (beta simpatomimetika) harus hati-hati pada penderita hipertensi dan penyakit jantung.
Jika setelah penggunaan obat bebas terbatas tidak ada perbaikan penyakit maka di anjurkan berobat ke dokter, sebagai contoh jika demam tidak hilang atau suhu naik lagi setelah 2-3 jam menggunakan antipiretik maka harus segera di tangani oleh dokter untuk mendiagnosis penyebabnya dan di pilih obat yang tepat, karena antipiretik hanya menghilangkan gejala saja.
Dalam pengobatan mandiri harus di perhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a.       Perhatikan gejala penyakit dan pilih obat yang tepat.
b.      Baca keterangan yang terdpat pada brosur dan kemasan, perhatikan dosis satu pemakaian dan jangan melebihi dosis sehari yang di anjurkan, bila tablet harus di belah dengan teliti, atau bila terbentuk cairan gunakan sendok bertakaran dengan teliti. Perhatikan bila ada peringatan dalam kemasan, misalnya bila mengendarai kendaraan untuk obat yang menimbulkan mengantuk.
c.       Perhatikan kondisi pasien, misalnya hamil atau menyusui,jika ragu-ragu berkonsultasi dengan dokter.

3.      PENGGUNAAN ANTIBIOTIK/ANTIMIKROBA
Penggunaan antibiotic/ antimikroba perlu mendapat perhatian khusus agar tidak terjadi resistensi mikroba yaitu mikroba menjadi tidak peka terhadap antimikroba sehingga penyakit infeksi tidak sembuh bahkan bertambah parah.Untuk mengingatkan pasien biasanya pada kemasan obat di tulis “di gunakan sampai habis” artiny walupun sudah merasa sehat antibiotic harus tetap di gunakan sampai habis. Penggunaan antibiotic atau antimikroba yang rasional adalah dosis yang digunakan harus tepat, pengobatan harus continue tidak lupa makan obat, lama pengobatan harus memadai.
Dosis harus tepat tidak kurang dan tidak terlalu besar sehingga mampu membunuh mikroba secar sempurna, tidak terjadi infeksi ulang oleh mikroba yang sama yang di sebut superinfeksi dan tidak timbul efek toksik karena kelebihan dosis. Penggunaan antibiotic tidak boleh terputus atau lupa di gunakan mikroba tidak di beri kesempatan untuk mempertahankan diri menjadi resisten. Demikian jiga lama pengobatan harus cukup bergantung dari jenis penyakitnya, ada yang cukup dengan dosis tunggal seperti pada penyakit gonore ada juga yang prlu di obati selama 2 bulan sampai 2 tahun contohnya pada penyakit tuberculosis, secara umum antibiotic digunakan sekurang kurangnya 3-5 hari.
Beberapa obat antibiotic dan obat antimikroba sintetik (khemoterapeutik) dapat berpenetrasi melalui plasenta ke dalam Rahim sehingga tidak boleh di gunakan pada ibu hamil karena dapat mengganggu perkembangan janin.Uraian lebih lengkap dapat di lihat pada penggunaan obat ibu hamil.

4.      PENGGUNAAN OBAT PADA KEHAMILAN
Obat yang digunakan oleh wanita hamil dapat sampai kepada janin jika dapat berpenetrasi ke plasenta.Obat tersebut dapat di kelompokan ke dalam zat yang di perlukan oleh janin seperti vitamin, obat yang tidak toksik untuk janin dan obat yang dapat menyebabkan kecacatan pada janin (teratogenik).
Kehamilan terdiri dari 4 tahp yaitu:
a.       Tahap preimplantasi yang berlangsung selama 12 hari setelah konsepsi
b.      Fase inplantasi yang di ikuti dengan organogenesis terjadi pada hari ke 13-56, baik inplantasi maupun organogenesis termasuk pengembangan embrio yang termasik ¼ kehamilan awal atau2/3 trimester pertama.
c.       Pertumbuhan dan pengembangan terutama system saraf pusat (SSP), endokrin dan system muskuloskelet (3/4 kehamilan terakhir),
d.      Fasa saat sebelum melahirkan, pada fase ini terus dapat di pengaruhi langsung atu tidak langsung oleh obat yang di konsumsi ibunya.
Obat yang bersifat teratogenik harus di hindari oleh ibu hamil, walaupun obat dapt bersifat toksin untuk usia kehamilan tertentu. Sehubungan dengan fase kehamilan yang sudah di paparkan di atas maka beberapa obat tertentu kontraindikasi untuk usia kehamilan tertentu. Contohnya tetrasiklin toksin pada usia kehamilan mulai bulan ke 4 karena mengganggu pertumbuhan tulang, sulfonamide berbahaya pada saat akan melahirkan karena dapat menyebabkan bayi kering pada saat di lahirkan, kinin dapat menyebabkan keguguran pada awal kehamilan atau trimester pertama karena meningkatkan uterus, pada umumnya atnti \histamin dpat menyebakan kecacatan terutama trismester pertama, aspirin dapat menimbulkan kehamilan pada awal kehamilan, trimetoprin, rifampisin dan griseofulvin tidak di gunakan selama kehamilan karena dapat menyebabkan kecacatan, kloramfenikol tidak di gunakan mulai trismester ke2 karena mengganggu pembentukan darah, antikogulan warfarin dapt menyebabkan defek SPP dan pendarahan pada trismester ke 2dan ke 3, antiepilepsi seperti difenil hidantoin, karbamazepin dan fenobarbital dapt menyebabkan gangguan perkembangan yaitu retardasi mental, abnormalitas kraniofasial, defek pertumbuhan fisik dan asam valproat menyebabkan malformasi.
Di samping obat, bahan makan dan minuman juga harus di perhatikan seperti alcohol dapat menyebabkan defek SPP, abnormalitas kraniofasial, gangguan mental, terbelakang, penurunan bobot badan sampai kematian.Kafein yang terdapat dalam minuman kopi lebih kurang 6-8 cangkir perhari dapat menyebabkan bobot badan bayi turun saat di lahirkan, lahir premature atau meninggal.Kafein murni sebagai obat dengan dosis 150mg perhari dapat menyebabkan aborsi pada trismester ke 2 dan 3.
Factor lain yang dapt mempenharuhi janin adalah merokok, dari data wanita hamil perokok berat kurang dari 1 bungkus per hari di peroleh data kematian fetus 20%, dan perokok lebih dari 1 bungkus perhari 35% fetus mati.
Hal-hal yang harus di informasikan kepada ibu hamil adalah
a.       Menghindari penggunaan obat yang tidak begitu penting dan jika tidak dapat di hindari pilih obat yang aman yang tidak kontra indikasi untuk ibu hamil (dapat di baca pada brosur atau kemasan)
b.      Perhatiakan cara penggunaan dan atur pakai obat
c.       Bila tidak yakin akan obat yang akan digunakan, konsultasi daengan dokter.

5.      PENGGUNAAN OBAT PADA IBU MENYUSUI
Beberapa obat dapat berpetrasi pada air susu ibi (ASI) dan dapat terkonsumsi oleh bayi sehingga menimbulkan efek yang tidak di inginkan untuk obat tertentu. Factor yang dapat mempengaruhi konsentrasi zat ASI adalah factor ibu yaitu komposisi susu dan aliran darah ke kelenjar mammae, factor obat yaitu berat molekul obat, pKa, ikatan protein, kelarutan dalam lemak, dosisi dan interval dosis dan formulasi sedian obat. Di samping itu factor bayi juga dapat mempengarihi jumlah obat yang terkonsumsi dan jumlah toksisitas pada bayi yaitu jumlah ASI yang di konsumsi, factor fisologis yang berbeda dengan orang dewasa yaitu pH saluran cerna yang lebih tinggi, perubahan flora saluran cerna, waktu transit saluran cerna yang lebih lama, jumlah enzinm pancreas dan garam empedu yang lebih sedikit, afinitas protein terhadap obat lebih rendah, persentase volume cairan ekstraseluler lbih besar, eliminasi melalui ginjal dan hati menurun.
Semua obat yang berpenetrasi ke ASI perlu hati-hati di gunakan pada ibu hamil kecuali yang bermanfaat seperti vitamin.Semua antibiotic di sarankan tidak di gunakan oleh ibu menyusui karena dapat menyebabkan sensitisasi pada bayi.Obat yang konta indikasi pada ibu menyususi oleh obat kanker (siklofosfamid, metroteksat, doksorubisin, fluorourasil dll), bromokriptin, amiodaron, amfetamin, kokain, siklosporin, ergotamine, isotretinoin, litium, marijuana, fensiklidin, nikotin (merokok).
Obat yang harus hati-hati di gunakan pada ibu menyusui adalah asebutolol, aluminium, amantadine, antidepresan (amitriptilin, amoksapin, desipramin, doksepin, fluoksetin, flivoksamin, imipramine dll), antipsikotik (klorpromazin, haloperiodel, mesoridazin perpenazin), atenonol, benzodiazepine, primidon, indometazin, mesalamin, matador, mertonizanol, asam nalidoiksat, nitrofurantoin, primidon, fenitoin, sulfonamide, dan sulfasalain.
Untuk mengurangi penerapan obat pada bayi dapat di lakukan beberapa tahap pendekatan dengan cara sebagai berikut:
a.       Menghindari/ menahan penggunaan obat
Sakit kepala dan pilek jika masih biasa di tahan tiodak minum obat dan di tangani dengan istirahat.
b.      Menunda penggunaan obat
Penggunaan obat di tunda dulu bila sudah saatnya menyusui
c.       Memilih obat yang sedikit terdistribusi ke dalam ASI
Dalam satu golonagn obat dapat di cari obat yang paling sedikit terdistribusi ke dalam ASI karena umumnya sangat nervariasi, contohnya dalam golongan beta bloker.
d.      Memilih rite pemberian alternative
Dengan memilih rute penggunaan obat dapat mengurangi kadar obat dalam darah dan akan mengurangi kadar obat dalam ASI, contoh penggunaan kortikosteroid secara inhalasi pada asam, penggunaan kortikosteroid topical, penggunaan bronchodilator dekongestan secara inhasi
e.       Menghindari menyusui dapa puncak konsentrasi obat pada ASI
Secara umum puncak obat dalam ASI 1-3 jam penggunaan obat oral, menyusui dapat di ataur setelah 4 jam penggunaan obat, dapat di pilih obat dengan waktu paro pendek dan tidak menggunakakn sediaan obat lepas lambat. Tetapi cara ini akn sulit bila bayi menyusui tidak teratur.
f.       Menggunakan obat pada saat bayi tidur paling lama
Dapat di gunakan untuk obat yang digunakan satu kali dalam satu hari
g.      Menunda menyusui apabila penggunaan obat temporer
Selama penggunaan obat tidak menyusui, ASI di pompa dan tidak di berikan, pemompaan ASI untuk mempertahankan agar ASI tetap di produksi dan mengalir.Contaohnya pada pengobatan gigi memerlukan pengobatan yang singkat. Pemberian asi di lakukan setelah obat di hentikan yaitu setelah 2 kali waktu paro obat (eliminasi 50-75%), untuk yang membahayakan walaupun dengan dosis kecil atau cenderung kumulasi setelah 5 kali waktu paro (eliminasi 94-97%).
h.      Menghentikan menyusui
Bila obat sangat di perlukan dan membahayakan jiwa ibu jika tidak di konsumsi dan membahayakan untuk bayi maka pemberian ASI dapat di hentikan, contohnya pada pengobatan kanker.

6.              PENGGUNAAN OBAT PADA ANOMALI GENETIK
Factor genetic dapat memodifikasi efek obat, metabolism dan kadar obat dalam darah, contoh kelainan genetic adalah defisiensi glukosa 6 fosfat dehigdrogenase, aktivitas asetil trasferase menurun atau terlalu aktif, defisiensi glikuronil trasferase, peningkatan aktifitas-aminolevulinat sinterase, defisiensi methemuglobin reduktase, defisiensi katalase dan defisisensi methemuglobin reduktase.
Pada individu defisisensi ebzim glukosa -6 fosfat dehigdrogenase dapat terjadi peningkatan efek samping terhadap darah merah yaitu anemia hemilitik, contohnya pada pemakaian primakuin dan anti malaria lain, golonagn sulfonamida, nitrofurantoin, analgetik, vitamin K dan analog vitamin K, aspirin, fenasetin, naproxen, para amino salisilat, asetanidil, penisilin dosis tinggi, kaotopril, sulfon (Dafson), metil dopa dan asam nalidiksat.
Pada defisiensi glukuronil trasfaranse terjadi peningkatan efek samping obat yang di metabolism dengan enzim tersebut, yaitu peningkatan bilirubin dalam darah dapat terjadi pada penggunaan sulfonamide dan gray syndrome bisa terjadi pada penggunaan kloramfenikol.
Anomaly enzim asetiltrasfarase menyebabkan obat yang di metabolism enzim tersebut menurun aktivitasnya pada aktivitas asetil trasfarase yang lebih tinggi dan meningkat waktu paronya lebih panjang pada aktivitas enzim yang menurun. Contohnya untuk asetilator cepat waktu paro isoniazid kurang dari 2,5 jam, sedangkan pada asitilator lambat waktu paro isoniazid lebih dari 2,5 jam.
Pada individu defisiensi methemuglobin reduktase, senyawa nitrit, fanaserin, naftalen (pengawet mainan) menjadi lebih toksin dapat menyebabkan methemuglobinemia yang di tamtai dengan sianosis.
Anomia genetic lain polimorfisme kolinesterase dengan aktivitas menurun dapat menyebabkan suksametonium (perelaksasi otot) tidak di uraikan dengan bekerja lama sehingga menimbulkan kelumpuhan pada pernafasan.
Produksi berlebih –aminolevulinat sintetase dapat meningkatkan pembentukan porfirin dan timbul forfiria.Porfiria akn meningkat pada obat yang efek sampingnya porfiria seperti pada antijamur griseofulvin, barbiturate, alil barboiturat, fenobarbital, fenilbutazon, sulfonamide, estrogen, pregnandiol, pregnanolol, sulfon, klorokuin, sedormid.
Pada individu yang menderita akatalasemia tidak mampu menguraika hydrogen peroksida yang biasa di gunakan pada penanganan gigi, dan dapat terjadi parodontosis, nyeri gisi, serta methemuglobinemia.

7.      PENGGUNAAN OBAT PADA GANGGUAN GINJAL
Penderita gagal ginjal harus hati-hati dalm menggunakan obat terutama di eksresi dalam jumlah besar ke dalam urin. Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan kerusakan ginjal seperti nekrosisi tubulus akut oleh obat antibiotic golongan aminoglikosia, amfoterisin, sefalosporin, polimiksin dan sulfonamide, logam merkuri, bismut dan antimon, zat lain seperti asetaminofen, karbamazepin, siklospirin, sisplatin dan metotreksat,di samping itu media kontras untuk diagnosis dapat menyebabkan nekrosisi tubulus akut. Glomerulonephritis dapat di sebabkan oleh allopurinol, ampisislin, kaptopril, penisilamin, rifampin, sulfonamide dll.
Penggunaan obat pada gagal ginjal dapat menyebabkan kumulasi dan toksisitas meningkat. Jika obat sangat di perlukan dapat dai usahakan dengan Pengaturan dosis, dapat dengan dosisi atau memperpanjang interval pemakaian.

8.      PENGGUNAAN OBAT PADA GANGGUAN HATI
Obat yang dapat menginduksi kerusakan hati harus di pertimbangkan penggunaannya pada gangguan hati. Obat yang metabolisme dalam jumlah besar di hati  akn membebani karja hati dan dapat memperparah kerusakan hati, demikian juga obat yang metabolismenya merusak hati (hepatotoksik) tidak boleh di gunakan pada gangguan fungsi hati.
Obat yang tergolong hepatotoksik menyebabkan insiden kerusakan hati lebih besar pada geriatric.Contoh  obat hepatotoksik : allopurinol, amfoterisin B, kloramfenikol, klordiazepoksid.
Klorpromazin, siklofosfamid, sikloserin, difenihidantoin, eritromisin estolat, indometasin, tolbutamid, metotreksat, metildopa, metiltiourasil, novobiosin, oleandomisin, oksasilin, oksazepam, PAS, perfenazin, fenotiazin, prokainamid, propiltiourasil, sulfonamida, tetrasiklin, haloperidol, imipramine.

9.      PENGGUNAAN OBAT PADA BAYI, ANAK-ANAK DAN USIA LANJUT

Fisiologi tubuh pada bayi dan usia lanjut (usia lebih dari 65 tahun) berbeda dengan orang dewasa. Perbedaan ini akan berakaibat pada perbedaan absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat sehingga efek obat dapat berubah.
Pada bayi yang baru lahir (neonatus) Produksi asam lambung lebih rendah dan derajat prmgosongan lambung juga lebih rendah sehingga obat yang di absorpsi di almbung akan meningkatkan ansorpsinya karena berada lebih lama di almbung. Tetepi setelah usia 24 jam, Produksi asam lambung pada bayi meningkat dan Ph turun tetapi belum sebanding dengan Produksi asam lambung pada orang dewasa yang berdampak pada lebih rendahnya absorpsi obat yang bersifat asam lemah seperti aspirin. Tubuh bayi terdiri dari 75% air, sehingga volume disrtibusi sejumlah obat meningkat. Sebagai contoh volume distribusi teofilin pada neonates 1 liter/kg sedangkan pada anak usia 6 tahun adalah 0,48 liter/kg. pada bayi 56% air tubuh total adalah cairan ekstraseluler dan 44% cairan intraseluler  sedang pada orang dewasa 60% cairan ekstraseluler dan 40% cairan intraseluler, hal ini menyebabkan perbrdaan distribusi obat.
Obat dalam bentuk bebas lebih banyak pada neonatus karena protein plasma lebih sedikit.Contoh fenitoin merupakan obat yang terikat dalam jumlah besar dalam protein plasma yaitu 90% pada orang dewasasedangkan pada neonatus hanya 70%.Hal ini berdampak pada peningkatan aktivitas obat dan kemungkinan dapat menjadi toksik.
Sisten metabolisme pada bayi belum lengkap, enzim microsomal hati belum terbentuk denag sempurna sehingga beberapa obat menjadi toksik. Sebagai contoh kloramfenikol pada bayi usia 1 minggu denan dosis 100mg/kg berat badan per hari terjadi komulasi kloramfenikol dan menyebabkan koleps kardiovaskular serta sianosis yang di kenal dengan gray beby syndrom .pada neonatus tersebut enzim glukuronil trasferase yang di parlukan untuk konyugasi kloramfenikol dengan asam glukuronat belum terbentuk sehingga kloramfenikol menjadi toksik. Maka agar keamanan untuk pasien terjamin kloramfenikol dai anjurkan tidak digunakan pada usia kurang dari 2 bulan. Jika kloramfenikol sangat di perlukan dan tidak ada pengganti lain maka dapat di gunakan dosis 25mg/kg berat badan per hari.
Demikian juga sistem eksresi ginjal berbeda orang dewasa. Kemampuan filtrasi di glomerulus dan sekresi tubulus ginjal pada bayi usia 1 bulan hanya 50% dari orang dewasa, akibatnay waktu paro obat lebih panjang pada bayi.
Pada usia lanjut, perbedaan Fisiologi dengan orang dewasa meliputi aliran darah ke ginjal, hati, dan usus akibat penurunan curah jantung mengakibatkan filtrasi di glomerulus menurun, metabolisme di hati menurun dan absorpsi di usus lebih sedikit. Waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna menurun sehingge obat kontak lebih lama dalam saluran cerna yang memungkinkan toksisitas lokal. Di samping itu lemak tubuh meningkat yang dapat menyebabkan distribudi obat yang larut lemak naik dan volume distribusi obat larut air menurun., aktivitas enzim menurun sehingga metabolisme obat menurun, Ph lambung lebih tinggi yang dapat meningkatkan absorpsi obat bersifat basa lemah mulai di lambung, penurunan albumin plasma dapat meningkatkan obat yang bebas sehingga efeknya meningkat dan memungkinkan muncul toksisitas. Umumnya ukursn tubuh usia lanjut lebih kecil di bandingkan dengan tubuh orang yang lebih muda.
Penggunaan obat pada usia lebih lanjut harus mendapat perhatian khusus, umumnya dosis dapat di turunkan karena metabolisme dan eksresi menurun, pemberian vitamin lebih sering karena absorpsi menurun dan harus ada yang mengawasi karena seringkali terjadi ganmgguan daya ingat (alzheimer).

10.   PENGGUNAAN OBAT BERSAMAAN DENGAN OBAT LAIN

Pada penanganan suatu penyakit seringkali tidak hanya satu obat yang di gunakan, contohnya obat anti infeksi sering di kombinasi dengan obat penurun demam, vitamin, dll.
Pada penggunaan polifarmasi dapat terjadi interaksi obat yang memungkinkan meningkatkan, menurunkan bahkan meniadakan    efek yang di inginkan, atau mengkatkan efek samping dan toksisitas salah satu obat, interaksi obat yang merugikan harus di hindari umumnya dengan mengatur interval pemberian tau mengganti dengan obat lain yang tidak berinteraksi.
Sebagai contoh interaksi obat yang merugikan adalah golongan aminoglikosida dengan golongan sefalosforin akan meningkatkan kerusakan ginjal, penggunaan garam kalsium dengan antibakteri siprofloksasin akan terbentuk kompleks khelat yang tidak di absorpsi dalam saluran cerna sehingga infeksi tidak sembuh, penggunaan hormone kontrasepsi oral dengan ripamfisin dalam jangkla waktu lama akan mempercepat penguraian kontrasepsi oral sehingga mengagalkan program keluarga berencana. Penggunaan 2 obat yang bersifat hepatotoksik harus di hindarkan seperti parasetamol dengan ripamfisin karena dapat meningkatkan kerusakan hati.
Penggunaan obat pada kondisi ada penyakit lain juga harus di perhatikan contoh obat pada penderita asma dan hipertensi, penggunaan kortikosteroid atau adrenalin unruk asma dapat memperparah hipertensi sedangkan penggunaan beta bloker seperti propanolol untuk antihipertensi dapat memperparah asma.

RINGKASAN

Penggunaan obat secara rasional melibatkan dokter sebagai penulis resep, apoteker dalam Pembuatan dan penyerahan obat kepada pasien disertai dengan pemberian informasi yang menandai, pasien yang di tuntut kepatuhannya dalam penggunaan obat, pemerintah dalam penyediaan  obat di Indonesia yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Di rumah sakit melinbatkan perawat dalam penyiapan obat serta pemberian obat kpada pasien.
Penggunaan obat harus mendapat perhatian khusus, pada ibu hamil, ibu menyusui, pasien ngagal ginjal, insufisiensi hati, bayi, usia lanjut, pada kondisi sedang menggunakan obat lain dan pasien anomaly genetik. Di samping itu perlu di perhatikan untuk obat yang di pilih oleh pasien yaitu obat bebas dan obat bebas terbaras yang dapat di beli bebas harus di berikan informasi yang memadai, di serahkan bersama leaflet dan keemasan asli agar petunjuknya dapat di baca oleh pasien. Penggunaan antibiotic penting di perhatikan karena jika dosis tidak memadai atau lama Pengobatan tidak cukup atau Pengobatan tidak continue dapat memicu timbulnya resistesi.   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar