Sabtu, 26 Desember 2015

biodiesel dari minyak jelantah



Biodiesel dari MINYAK JELANTAH (Minyak goreng Bekas) 

BAB I
A.   LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal dunia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, terutama minyak bumi dan gas alam. Hal ini yang menjadikan Indonesia memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam jumlah yang besar untuk kesejahteraan masyarakatnya. Indonesia termasuk negara penyumbang minyak terbesar di dunia oleh karena itu hal ini dikhawatirkan berdampak kepada sumber daya alam tersebut, dimana kita ketahui SDA minyak bumi dan gas alam adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan lama-kelamaan akan habis di gali. Kemungkinan Indonesia kehilangan SDA tersebut sangat besar, sehingga menyebabkan kelangkaan bahan bakar yang sekarang ini saja sudah terasa dampaknya, dengan kelangkaan minyak tanah, dan harga minyak dunia yang semakin tinggi.
Permasalahan di atas menjadikan kita harus berpikir bagaimana caranya untuk mengganti SDA tersebut dengan sumber daya energi yang murah dan tepat guna? Sebagai jawaban dari permasalahan tersebut adalah bioenergi. Bioenergi sendiri merupakan sumber daya alternatif yang dapat digunakan berulang-ulang, untuk mengganti sumber daya fosil yang banyak digunakan di Indonesia saat ini.
Oleh karena itu pemerintah Indonesia mencari solusi bagaimana mensosialisasikan usaha bioenergi yang dapat dimanfaatkan masyarakat luas kepada para wirausahaan, dan dapat membuka lapangan pekerjaan, bagi kesejahteraan hidup?, dan dapat menemukan bioenergi alternatif
Bioenergi ini sangat cocok diterapkan kepada masyarakat pedesaan yang umumnya masih menggunakan BBM fosil sebagai bahan bakar “pengepul dapur” mereka, dengan dilakukannya pengadaan bioenergi di pedasaan diharapkan dapat mengurangi penggunaan BBM fosil yang sekarang mulai langka, dan harganya yang terus melonjak.



BAB II
A.  PENGERTIAN BIODIESEL
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono--alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.
Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Dia merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena ia merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini.
Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.









B.  MINYAK JELANTAH SEBAGAI BAHAN BAKU BIODIESEL
Minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya, dapat di gunakan kembali untuk keperluaran kuliner akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah ini dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan, kegunaan lain dari minyak jelantah adalah bahan bakar biodiesel (Anonim, 2010).
Minyak jelantah juga dapat digunakan kembali sebagai minyak goreng yang bersih tanpa kotoran, dengan cara minyak jelantah tersebut direndam bersama dengan ampas tebu, maka nantinya warna coklat dan kotoran pada minyak jelantah akan terserap oleh ampas tebu tersebut, sehingga minyak jelantah tersebut akan kembali bersih dan dapat dipakai kembali (Ridhotulloh, 2008).

Analisis Laboratorium Sifat - sifat Biodiesel dari
Minyak Jelantah
Sifat fisik Unit Hasil ASTM Standar (Solar)
Flash point °C 170 Min.100
Viskositas (40°C) cSt. 4,9 1,9-6,5
Bilangan setana - 57 Min.40
Cloud point °C 3,3 -
Sulfur content % m/m << 0.01 0.05 max
Calorific value kJ/kg 38.542 45.343
Density (15°C) Kg/l 0,93 0,84
Gliserin bebas Wt.% 0,00 Maks.0,02
Sumber: www.migasindonesia.com
Bahan bakar yang berbentuk cair ini bersifat menyerupai solar, sehingga sangat prosfektif untuk dikembangakan. Apalagi biodiesel memiliki kelebihan lain dibanding dengan solar, yakni:
- Bahan bakar ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (free sulphur, smoke number rendah) sesuai dengan isu-isu global.
- Cetane number lebih tinggi (>57) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik dibandingkan dengan minyak kasar.
- Memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin dan dapat terurai (biodegradable).
- Merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbaharui.
- Meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi secara lokal (Hambali, 2007).
Saat membandingkan biodiesel dengan solar, hal yang perlu diperhatikan juga adalah pada tingkat emisi bahan bakar. Biodiesel menghasilkan tingkat emisi hidrokarbon yang lebih kecil, sekitar 30% dibanding dengan solar, Emisi CO juga lebih rendah, -sekitar 18%-, emisi particulate molecul lebih rendah 17%, sedang untuk emisi NOx lebih tinggi sekitar 10%, sehingga secara keseluruhan, tingkat emisi biodiesel lebih rendah dibandingkan dengan solar, sehingga lebih ramah lingkungan (Firdaus, 2010).
Berdasarkan uji laboratorium, campuran efektif biodiesel 5-30% per liter solar selain berkarakter pelumas sehingga aman untuk mesin, sistem pembakaran pun menjadi lebih sempurna. Untuk mengurangi polusi secara signifikan, penggunaan biodiesel bisa dicampur solar dengan rasio 5-10%. Biodiesel dari jelantah tidak mengandung belerang (sulfur) dan benzene yang bersifat karsinogen, serta dapat diuraikan secara alami (Ridhotulloh, 2008).
Minyak jelantah ini sangat mudah di temukan, misalnya di pedagang kaki lima, sisa penggunaan dapur rumah tangga, dan dari restoran, serta harga beli dari minyak jelantah ini cukup murah dalam jumlah yang besar, per liternya dijual sekitar Rp. 1700- Rp. 2000, ada juga beberapa restoran yang memberikan minyak jelantahnya secara gratis, atau dapat juga di beli dari para pemgumpul minyak jelantah yang ada, dan harga jual biodiesel jelantah ke Pertamina Rp 7000/liter (Wawicaksono, 2007).


Pengunaan minyak yang berulangkali terpaksa dilakukan karena terus melambungnya harga minyak goreng saat ini. sosialisasi bagaimana mengolah minyak ini untuk kemudia dapat dimanfaatkan lagi perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak yang luar biasa yang bisa ditimbulkan dengan mengkonsumsi minyak jelantah.
Seorang mahasiswa semester delapan Unand, Aster Rahayu, bersama rekannya Lis yang melakukan penelitian dan pengolahan minyak bekas pakai itu, di Padang, Jumat [21/03] , mengatakan, minyak jelantah bisa dipakai kembali dalam keadaan bersih tanpa kotoran, dengan menggunakan ampas tebu sebagai bahan penyerap. Bahan penyerap tebu yang sudah dijadikan partikel bisa langsung digunakan dengan mudah oleh ibu-ibu rumah tangga untuk memproses minyak jelantah menjadi minyak layak pakai.
Penelitian yang dilakukannya sejak Januari 2008 dan akan terus disempurnakan sampai April 2008 itu, dimulai dengan mengambil sampel minyak jelantah dari pedagang gorengan.
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah minyak jelantah tersebut dianalisa dulu kandungan FFAnya, kandungan kotoran dan asam lemaknya. Namun minyak goreng yang bagus (baru) juga dianalisa untuk mengetahui FFAnya sebagai perbandingan bagi minyak jelantah.
Kemudian menyiapkan ampas tebu yang sudah kering digiling setelah dicuci bersih. Ampas tebu tadi diayak atau disaring untuk diambil dengan ukuran partikel mulai dari 150 mikro meter, 180 mikro meter, 225 mikro meter dan 450 mikro meter. Selanjutnya ampas tebu direndamkan ke dalam minyak jelanta itu (untuk memperoleh kondisi optimum). Untuk berat ampas tebu juga dicari ukuran partikel hingga kondisi optimumnya. Berat ampas tebu juga dianalisis, setelah kondisi optimumnya diperoleh kita terus melakukan variasi lain yakni perendaman ampas tebu dengan minyak jelantah.
Dalam perendaman ampas tebu dengan minyak jelantah itu, dicari pula kondisi optimum yang selanjutnya baru minyak jelantah ditetapkan dan dianalisa kandungan FFAnya.
Ternyata dengan menggunakan ampas tebu, minyak jelanta menjadi bagus, dan warna hitam atau coklatnya berkurang karena kotoran berada pada minyak jelantah itu diserap oleh ampas tebu. Ampas tebu dalam analisa itu berfungsi sebagai bahan penyerap yang bagus.
Kepala Laboratorium Kimia Analisa Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Prof Dr Rahmiana Zein, mengatakan hasil penelitian Unand berupa uji coba material yang berada di lingkungan (termasuk bahan-bahan sampah) perlu dipublikasikan.
Sebuah berita menggembirakan datang dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi, yang mengabarkan bahwa minyak bekas penggorengan atau yang dikenal dengan nama minyak jelantah ternyata dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan untuk kompor masak. Untuk itu, melihat kondisi kenaikan harga BBM dan harga minyak bumi, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) telah melakukan percobaan membuat kompor berbahan bakar nabati yakni dari minyak bakar jelantah.
Menurut BPPT, limbah minyak goreng (waste of vegetable oil) memiliki potensi sebagai alternatif energi bahan bakar nabati bisa menurunkan 100% emisi gas buangan Sulfur dan CO2 serta CO sampai dengan 50%, dan sekaligus mampu mengurangi pencemaran air, tanah, dan udara. Minyak jelantah berdampak positif daripada dibuang, karena minyak jelantah dapat mencemari lingkungan. Lebih parahnya, jika terjadi penggunaan lebih dari dua kali, maka minyak jelantah ini dapat menyebabkan penyakit kanker. Penyakit hipertensi dan kolesterol juga dapat terjadi akibat kandungan asam lemak jenuh yang tinggi dari minyak jelantah.
Minyak jelantah sendiri memiliki kadar karbondioksida yang seimbang sehingga memiliki kemungkinan kecil resiko meledak, walaupun ketika pembakaran tidak terkendali, api bisa langsung membesar. Namun, menurut BPPT, minyak jelantah dapat meledak jika suhunya mencapai lebih dari 300 derajat Celcius. Diharapkan BPPT, teknologi baru ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat nantinya di tengah kelangkaan elpiji dan harga minyak tanah yang melambung.


1.   Mengandung Asam Lemak Bebas

Ketika minyak digunakan untuk menggoreng terjadi peristiwa oksidasi, hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan. Adanya asam lemak bebas dalam minyak goreng tidak bagus pada kesehatan. FFA dapat pula menjadi ester jika bereaksi dengan methanol, sedang jika bereaksi dengan soda akan mebentuk sabun. Produk biodiesel harus dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa methanol dan soda. Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat henghidrolisa dan memecah biodiesel menjadi FFA yang kemudian terlarut dalam biodiesel itu sendiri. Kandungan FFA dalam biodiesel tidak bagus karena dapat menyumbat filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin diesel.

2.   Mengaktualkan Kembali Konversi Minyak Jelantah Menjadi Biodiesel
Dewasa ini sumber energi utama yang digunakan di berbagai Negara adalah minyak bumi. Eksploitasi secara ekstensif dan berkepanjangan menyebabkan cadangan minyak bumi semakin menipis dan harganya melonjak secara tajam dari tahun ke tahun. Di antara berbagai produk olahan minyak bumi, seperti bensin, minyak tanah, minyak solar, dan avtur. Solar merupakan bahan bakar yang tergolong paling banyak digunakan karena kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, penggerak generator listrik dan peralatan berat lainnya menggunakan solar sebagai sumber energi. Mengingat arti penting solar serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis, berbagai upaya  telah dilakukan untuk mencari energi alternatif pengganti bahan bakar diesel tersebut. Bahan bakar alternatif yang saat ini sangat menjanjikan sebagai pengganti petrodisel adalah minyak sawit dan hasil olahannya yang disebut dengan biodiesel. Namun sayangnya minyak sawit memiliki sifat mudah teroksidasi dan menjadi rusak karena minyak sawit banyak mengandung asam lemak. Penggunaan langsung minyak sawit dapat menyebabkan kerusakan mesin diesel karena hasil pembakaran minyak sawit membentuk deposit pada pipa injektor mesin diesel dan asap berlebih. Selain itu minyak sawit juga memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada petrodiesel. Dari sisi ekonomi penggunaan minyak sawit secara langsung juga kurang menguntungkan karena harus bersaing dengan minyak goreng komersial yang pada gilirannya mengganggu ketahanan pangan. Konversi minyak sawit murah seperti CPO parit atau minyak goreng bekas menjadi biodiesel diperlukan agar minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar tanpa mengganggu ketahanan pangan.
Biodiesel yang secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil dari tanaman dan lemak hewan merupakan bahan bakar alternatif yang sangat potensial digunakan sebagai pengganti solar karena kemiripan karakteristiknya. Selain itu biodiesel yang berasal dari minyak nabati merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable), mudah diproses, harganya relatif stabil, tidak menghasilan cemaran yang berbahaya bagi lingkungan (non toksik) serta mudah terurai secara alami. Untuk mengatasi kelemahan minyak sawit, maka minyak sawit itu harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk metil atau etil esternya (biodiesel). Bentuk metil atau etil ester ini relatif lebih ramah lingkungan namun juga kurang ekonomis karena menggunakan bahan baku minyak sawit goreng. Sementara itu, minyak goreng bekas atau jelantah dari industri pangan dan rumah tangga cukup banyak tersedia di Indonesia. Minyak jelantah ini tidak baik jika  digunakan kembali untuk memasak karena banyak mengandung asam lemak bebas dan radikal yang dapat membahayakan kesehatan. Sebenarnya konversi langsung minyak jelantah atau minyak goreng bekas menjadi biodisel sudah cukup lama dilakukan oleh para peneliti biodiesel namun beberapa mengalami kegagalan, karena minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi. Kandungan asam lemak bebas dapat dikurangi dengan cara mengesterkan asam lemak bebas dengan katalis asam homogen, seperti asam sulfat atau katalis asam heterogen seperti zeolit atau lempung teraktivasi asam. Skema di bawah ini memperlihatkan proses pembuatan biodesel dari minyak goreng bekas yang mengadopsi prinsip zero waste process.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar